Cara Bijak Memarahi Anak (Bag. 1-2)

Cara Bijak Memarahi Anak (Bag. 1-2)

Cara Bijak Memarahi Anak (Bag. 1-2)
Ilustrasi
MuslimahZone.com – Sebagaimana senyuman yang damai, kadang kita harus memarahi anak. Ini bukan berarti kita meninggalkan kelembutan, sebab memarahi dan sikap lemah lembut bukanlah hal yang bertentangan. Lemah lembut merupakan kualitas sikap, sebagai sifat dari apa yang kita lakukan. Sedangkan memarahi –bukan marah- merupakan tindakan. Orang bisa saja bersikap kasar, meskipun dia sedang bermesraan dengan istrinya.
Berikut ada beberapa catatan yang bisa kita perhatikan ketika memarahi anak:
Memarahi Bukan Marah-Marah
Kita acapkali tidak bisa meredakan emosi pada saat menghadapi perilaku anak yang menjengkelkan. Kita menegur anak bukan karena ingin meluruskan kesalahan, tetapi karena ingin meluapkan amarah dan kejengkelan. Tidak mudah memang, tetapi kita harus terus belajar meredakan emosi saat menghadapi anak, utamanya saat menghadapi perilaku mereka yang membuat kita ingin berteriak dan membelalak. Jika tidak, teguran kita tidak akan efektif. Bahkan, bukan tidak mungkin mereka justru semakin menunjukkan “kenakalannya”.
Sekali lagi, betapa pun sulit dan masih sering gagal, kita perlu berusaha untuk menenangkan emosi saat menghadapi anak sebelum kita menegur mereka, sebelum kita memarahi mereka. Ya, kita harus sungguh-sungguh berupaya agar teguran kita tetap terkendali dan tetap terkontrol.
Ada kiat yang terdengar konyol namun cukup jitu ketika kita menghadapi tingkah ajaib anak-anak kita; berpura-pura marahlah sebelum kau marah betulan. Saat kita berpura-pura justru saat itulah kita terkendali. Kita dapat menguasai jalan pikiran anak-anak kita, dapat memahami apa yang sebenarnya maksud tingkah mereka. Sehingga teguran yang kita lontarkan mengena.
Hal yang tidak kalah penting adalah mengatur pola harian anak-anak kita dan diri kita sendiri. Sebagai orang tua, terlebih ibu yang paling sering menemani anak-anak, kita biasanya sudah mengenal kapan waktu-waktu sensitif dan gampang meledak. Biasanya saat sibuk, mau berangkat beraktivitas, saat jam lapar, mengantuk, dan lelah. Atur sedemikian rupa hingga kesibukan kita tidak terganggu anak. Misal dikerjakan saat mereka tidur atau ketika mereka tengah asik beraktivitas sendiri. Kemudian memajukan persiapan berangkat beraktivitas 15 menit lebih awal, sehingga tidak tergesa-gesa. Juga antisipasi kondisi lapar, kantuk, dan lelah kita maupun anak-anak. Beri makan sebelum mereka terlalu lapar. Ajak bobo sebelum kantuk mereka mengganggu keinginan mereka bermain. Hentikan kegiatan dan beristirahatlah sebelum terlalu penat.
 Ajarkan Kepada Mereka Konsekuensi Bukan Ancaman
Ancaman tidak banyak bermanfaat untuk menghentikan kenakalan anak atau perilaku yang membuat kita sewot. Sebaliknya, ancaman justru membuat anak belajar berontak dan menentang. Salah satu sebabnya, anak merasa orangtua tidak menyayangi ketika kita meneriakkan ancaman di telinga mereka. Selain itu, kita sering lupa menunjukkan apa yang seharusnya dikerjakan anak manakala kita asyik melontarkan ancaman.
Lalu apa yang perlu kita lakukan? Pertama, kita kembali pada qubhunal ‘iqab bila bayan. Adalah buruk menghukum tanpa memberikan penjelasan. Sekali waktu kita perlu duduk bersama dalam suasana yang mesra dengan anak untuk berbicara tentang aturan-aturan. Kedua, kita bisa membuat komitmen bersama dengan anak untuk mematuhi aturan. Misalnya, mintalah kepada anak agar tenang ketika ada tamu. Kalau ada yang perlu disampaikan, atau anak menginginkan sesuatu, hendaknya menyampaikan kepada orang tua dengan baik-baik dan bersabar bila orangtua belum bisa memenuhinya.
Bersama dengan komitmen ini kita bisa membicarakan dengan anak konsekuensi apa yang bisa diterima bila anak mengamuk di saat ada tamu. Sekali lagi, konsekuensi ini disampaikan dengan nada yang akrab. Bukan ancaman. Bila anak melakukan hal-hal negatif yang sangat mengganggu, orangtua bisa mengingatkan kembali kepada anak dan lagi-lagi tidak dengan nada mengancam. Dalam hal ini, orang tua perlu berusaha konsisten, betapa pun sangat sulit.
Stop!: “Ibu Sudah Bilang Berkali-kali.”
Salah satu kebiasaan umum orangtua yang menyakitkan hati anak sehingga bisa melemahkan citra dirinya adalah ungkapan, “Ibu sudah bilang berkali-kali, tapi kamu tidak mau mendengarkan.”
Ungkapan ini memang efektif membuat anak diam menunduk. Tetapi ia diam karena harga dirinya jatuh, bukan karena menyadari kesalahan. Jika ini sering terjadi, anak akan memiliki citra diri yang buruk. Anak belajar memandang dirinya secara negatif, sehingga lupa dengan berbagai kebaikan dan keunggulan yang ia miliki. Sebaliknya orang tua juga demikian, semakin sering berkata seperti itu kepada anak, kita akan semakin mudah bereaksi secara impulsif. Kita semakin percaya pada anggapan kita sendiri bahwa anak-anak kita memang bandel, menjengkelkan, dan susah dinasihati.
Tidak mudah memang, tetapi kebiasaan memarahi anak dengan ugkapan seperti ini, harus kita kikis secara sadar dari sekarang. Kita perlu menguatkan tekad untuk berkata yang lebih positif, betapa pun hampir setiap komentar kita masih buruk.
Disadur dari “Saat Berharga Untuk Anak Kita” penulis Ustadz Muhammad Fauzil Adhim dengan beberapa tambahan dari redaksi.
(esqiel/muslimahzone.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar